BAB 12
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. PENGERTIAN KONSUMEN
Konsumen yaitu
beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk
mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan
perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
2.
AZAS
DAN TUJUAN
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A.
Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan konsumen
1)
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara
keseluruhan.
2)
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3)
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material
maupun spiritual.
4)
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan
5)
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
·
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
·
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara
spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh
untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
·
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4,
hak-hak konsumen sebagai berikut :
1)
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengonsumsi barang/jasa
2)
Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
4)
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas
barang/jasa yang digunakan.
5)
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6)
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
8)
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi,
atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
9)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4
juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur
tentang kewajiban pelaku usaha.
B. Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan
Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
• Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
• Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
• Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
4. HAK
DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4. hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha
menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1) tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2) tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3) tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya
4) tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
5) tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut
6) tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7) tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
8) tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label
9) tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat
10) tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga
memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan
yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai
berikut:
Ø Rusak: sudah tidak
sempurna (baik, utuh) lagi.
Ø Cacat: kekurangan
yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Ø Bekas: sudah pernah
dipakai.
Ø Tercemar: menjadi
cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk
membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut
sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut
yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi
lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini
adalah:
(4) Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
6. TANGGUNG
JAWAB YANG DILAKUKAN PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8
tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur
tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal
21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan
bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal
yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
· barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
· cacat
barang timbul pada kemudian hari;
· cacat
timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
· kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen ;
· lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
7. SANKSI
Masyarakat boleh merasa lega
dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No.
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana
yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada
lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya, masih
banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran
polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula
baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan
dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut
sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling
banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak
hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam
dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha
yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
· Ganti
rugi dalam bentuk :
· Pengembalian
uang atau
· Penggantian
barang atau
· Perawatan
kesehatan, dan/atau
· Pemberian
santunan
· Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20,
25
Sanksi Pidana :
· Kurungan
:
· Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
· Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
· Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
· Hukuman
tambahan , antara lain :
· Pengumuman
keputusan Hakim
· Pencabuttan
izin usaha;
· Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
· Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
· Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER :
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
http://www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar